Ada dua pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang sering saya lontarkan kepada sahabat saya.

Pertanyaan pertama, siapa di antara sahabat yang bercita-cita jadi orang pintar?

Biasanya cukup lama saya menunggu jawaban dari sahabat-sahabat saya, terkadang ada yang mau acungkan tangan tapi tidak jadi ketika melihat yang lain belum ada yang mengacungkan tangan.

Setelah sekian lama dengan sedikit paksaan dari saya, "ayo acungkan tangan", baru beberapa orang berani mengacungkan tangan.

Ketika saya dapati ada yang tidak mengacungkan tangan biasanya saya tanya alasannya, kenapa tidak mengacungkan tangan. Pernah saya mendapatkan jawaban, "saya mau jadi orang yang biasa saja pak," hemm sungguh di luar dugaan jawabannya.

Pertanyaan kedua, siapa di antara sahabat yang bercita-cita jadi orang kaya?

Sungguh 'spektakuler', setelah menunggu sekian lama ternyata yang mengacungkan tangan jauh lebih sedikit daripada ketika menjawab pertanyaan pertama. Nah, sasaran utama saya sekarang adalah sahabat yang mengacungkan tangan ketika menjawab pertanyaan pertama tapi tidak mengacungkan tangan ketika menjawab pertanyaan kedua.

Saya tanya sahabat tersebut, "Kenapa tidak mengacungkan tangan?" Dari beberapa jawaban, ada satu jawaban yang menarik perhatian saya, yakni, "saya takut jadi orang sombong", hemm sungguh di luar dugaan juga.

Saya sampaikan pertanyaan "kenapa takut sombong?" Walaupun sombong itu sifat buruk, sepertinya akan lebih buruk jika yang sombong itu si miskin (maaf) atau yang sombong itu si bodoh (maaf dan maaf).

Sepertinya ketidakberanian ini sudah menjadi karakter turun-temurun, tidak berani bercita-cita jadi orang pintar dan tidak berani bercita-cita jadi orang kaya. Bisa jadi karena kita orang timur yang pemalu atau karena terlalu lama kita dijajah bangsa lain.

Ketika saya dapati ada yang mengacungkan tangan untuk pertanyaan pertama tapi tidak mengacungkan tangan untuk pertanyaan yang kedua, keisengan saya muncul lagi, saya ajukan pertanyaan tambahan, "apakah sahabat mau jadi orang pintar tapi miskin?" Kebanyakan tidak menjawab, tapi ada juga yang menjawab, "Saya mau jadi orang pintar tapi memiliki kekayaan biasa saja." Hehehe tanggung amat, seloroh saya.

Supaya sahabat-sahabatku tidak berprasangka buruk kepada saya, maka saya sampaikan kepada mereka bahwa menjadi pintar dan kaya itu punya tujuan, yakni untuk bisa dan mudah berbagi. Berbagi ilmu dan harta, bukan berbagi kebodohan dan kemiskinan. Berbagi kebaikan berarti membentuk diri menjadi manusia yang bermanfaat bagi yang lainnya, bukankah Rosululloh shalallahu 'alaihi wasalam pernah bersabda "sebaik-baiknya kalian adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain".

Masalah ketakutan munculnya sifat sombong, tinggal bagaimana pendidikan karakter memainkan perannya. Pendidik harus berperan menghilangkan penyelarasan antara miskin dengan rendah hati dan kaya dan berilmu dengan kesombongan.

Imam Nawawi dalam kitabnya Nashaih al-‘Ibad menyebut, kesombongan adalah sifat yang buruk bagi siapa pun dan apa pun kondisinya. Namun, bagi orang miskin yang sombong, hal ini adalah keburukan yang lebih parah.

Mari kita dorong anak didik kita untuk berusaha memperbanyak ilmu dan berusaha menjadi kaya agar mudah  berbagi kepada sesama. Ilmu yang bermanfaat dan harta yang disedekah jariahkan adalah dua dari tiga hal yang pahalanya tidak akan putus sampai kita di alam baka pun. Jadi pada akhirnya kepintaran dan kekayaan yang didapat digunakan untuk mencari ridlo Allah subhanahu wata'ala.

Wallaahu a'lam